Kamis, 10 Februari 2011

Aku Hanya Anak Kampung

Posted by asbak 22.02, under | No comments

Aku tahu setiap hari putih menjadi hitam, kata-kata adalah angka, kebohongan menjadi lebih berguna dibandingkan dengan kejujuran. Aku seringkali berbicara pada jalan yang tenggelam kebanjiran tentang siapa yang terhormat, yang bermartabat. Lalu aku sangsikan segala nyata pada keabstrakan di atas lembar-lembar sejarah yang tidak pernah berubah.

Aku perhatikan sosok-sosok yang selalu melintas dihadapku dengan aroma badan semerbak kesombongan, duduk disampingku lalu berbicara ‘ini’ dan ‘itu’, berkata dengan isi suara halus menjerumus, yang sebenaranya ada sebagian pembicaraan tidak aku mengerti karena aku sebuah raga dari ketidakmengertian, ketidaktahuan; sampan yang kebingungan di permukaan lautan, menerjang terjangan ombak di atas karang. Lalu mereka mengajak untuk berbagai hal, maka wajahku berbicara: “aku katakana padamu yang telah mati digerogoti ulat, sebentar lagi kau membusuk dan dikerumuni lalat.” Kemudian mereka memalingkan muka dan menjawab dengan punggung mereka: “berbahagialah dengan diammu!” maka senyumku bergumam: “diam ini kesadaran otak ketika melihat tikus yang siap dikuburkan.”

Pada saat air hujan bergerombol menyerbu tanah, aku rasakan ancaman sedikitnya mengalir di kening. Dan hening. Beku merasuk. Nyala lampu menusuk. Ternyata mentari sementara mati dan kembali entah pada pagi atau selamanya terkubur oleh kemalasan membuka mata.

Raga melayang di atas jembatan masih di bawah langit. Pandangku beragam: air yang hitam, udara yang sesak, tak ada tanah, semua adalah beton berlapis semen abu tanpa hijau yang saling bergelantung menari. Kemudian aku katakan pada gedung-gedung tinggi yang menjadi belantara: “aku hanya anak kampung yang bertarung dengan menghirup udara liar sehingga paru-paru ini siap sesak oleh gas-gas beracun pestisida, sulfur dioksida, cadmium, hidrokarbon, nitrogen, dan karbon dioksida.” Petugas kebersihan kota menyapu sampah di depan istana, kemewahan melintas dan mencipratkan air hujan bercampur ketidakpedulian di wajah mereka.

Adakah kita berada pada tempat yang sama [?]
Adakah air yang kita minum sama rasa [?]
Adakah tanah yang kita pijak berbeda warna [?]
Dan Tuhan yang ciptakan segala
Sementara detik ada pada bumi kuasa

Selayaknya mencabut nyawa, menahan jiwa dalam bahaya. Menghampiri anjing yang berjaga di depan neraka karena hidup bukan hanya sekedar nuansa kata-kata indah yang turun dari syurga.

Jangan nyanyikan lagu sendu yang selalu berdawai di padang hijau. Jangan lantunkan merdu suara yang selalu bersandar pada keheningan. Berikan aku nyanyian yang membakar bulan; menghantam denyut nadi sehingga membuncah jiwa bernada hantaman di pelupuk mata. Aku tidak akan tersenyum pada kalian dengan darah yang kering; dan daging-daging membusuk atas prahara yang dijadi-jadikan, diada-adakan.

Di dalam bis kota ini aku merindu ayah dan ibuku; kampong halamanku jauh di balik nuansa keadilan hidup yang sempurna; dan sementara kawanku adalah keperihan antara gemerincik air yang menimpa tanah pengap tertimbun beton dan aspal.

Pada malam
Pada angin
Pada lampu
Pada jalan
Pada jembatan
Pada batas kota
Pada polusi
Pada bising suara
Sampaikan sepucuk rindu dari bibir kering teruntuk Tuhan di ujung nalar.
Dan bila sejenak kabarku tenggelam, ampun aku dan lupakan adaku.
Kesunyian adalah rumahku.

Tags

Blog Archive